Sunday, 3 April 2011

Tunggal Panaluan

Tunggal Panaluan adalah tongkat orang batak yang hanya dimiliki oleh raja-raja batak. Tunggal Panaluan Raja Batak yang konon sudah dibawa oleh orang Belanda ke negaranya sekarang sudah kembali ke Tanah Batak, tepatnya di museum Gereja Katolik Kabupaten Samosir. Tongkat Tunggal Panaluan oleh semua sub suku Batak diyakini memiliki kekuatan gaib untuk : meminta hujan, menahan hujan (manarang udan), menolak bala, Wabah, mengobati penyakit, mencari dan menangkap pencuri, membantu dalam peperangan dll. Ada beberapa versi mengenai kisah terjadinya tongkat Tongkat Tunggal Panaluan yang memiliki persamaan dan perbedaan, sehingga motif yang terdapat pada tongkat Tongkat Tunggal Panaluan juga bervariasi. Salah satu kisahnya sebagai berikut :



Sepasang suami istri yaitu Datu Baragas Tunggal Pambarbar Na Sumurung (ahli ukir) dan istrinya Nan Sindak Panaluan, sudah lama menikah tapi belum dikaruniai anak. Mereka menanyakan hal tersebut kepada ahli ramal, ahli ramal menganjurkan agar mengganti patung-patung yang ada di rumahnya dengan yang lebih cantik. Maka pergilah Datu Baragas kehutan untuk mencari kayu yang cocok dijadikan patung, tetapi berhari-hari lamanya tidak ditemukan. Suatu saat ia (Baragas Tunggal) melihat di udara pohon melayang-layang tanpa cabang, daunnya kira-kira setinggi manusia. Baragas memohon kepada Mulajadi agar pohon tersebut diturunkan ke bumi dan ternyata dikabulkan. Pohon tersebut turun tepat ditempat peristirahatan (perberhentian) yang disebut Adian Naga Tolping. Baragas mengambilnya serta mulai mengukir sehingga berbentuk seorang gadis disebut Jonjong Anian. Setelah selesai, ia bermaksud membawa pulang, tetapi tidak dapat diangkatnya.

Beberapa hari kemudian saudagar kain dan perhiasan lewat lalu beristirahat ditempat tersebut. Saudagar melihat betapa cantiknya patung tersebut bila dikenakan pakaian dan perhiasan lengkap. Ia kemudian mengenakan pakaian, selendang, kerabu, kalung, gelang dan kancing emas. Ketika hendak pulang barang-barang tersebut tidak dapat dibuka walau dengan cara apapun. Lalu ia pulang dengan hati yang sangat kesal. Tersiarlah berita sampai keseluruh negeri dan sampai pada dukun Nasumurung Datu Pangabang-abang Pangubung-ubung yaitu dukun yang dapat menghidupkan kembali yang mati atau menyegarkan yang busuk. Sang dukun pergi ketempat patung tersebut dengan membawa obat berkhasiat, lalu meneteskannya ke mata patung, matanya langsung berkedip, ditetskan kehidung terus bersin, diteteskan ke bibir sehingga komat-kamit, diteteskan ke mulut terus dapat berbicara, ke telinga lalu mendengar, kepersendian, pergelangan tangan maupun kaki sehingga dapat bergerak dan berjalan sehingga patung tersebut menjadi seorang gadis cantik jelita, diberi nama siboru Jonjong Anian Siboru Tibal Tudosan.

Datu Nasumurung membangun rumah untuk tempatnya bertenun yang dikawal harimau, babi dan anjing, tangga rumahnya dibuat dari pisau-pisau yang tajam. Banyak pemuda yang simpati padanya tapi untuk bertemupun tidak bisa, namun seorang pemuda berhasil memikat hatinya yang bernama Guru Tatea Bulan dan sepakat untuk melaksanakan perkawinan. Berita itu tersebar luas diseluruh negeri dan sampai kepada Baragas (sipembuat patung), lalu mendatangi datu Pangabang-abang yang menanyakan hal itu. Terjadilah perselisihan antara sipembuat patung (pengukir), datu yang menghidupkan dan saudagar yang masing-masing mengatakan bahwa siboru Jonjong Anian adalah putrinya.

Perselisihan itu ditengahi oleh Si Raja Bahir-bahir (seorang penyumpit) yang menyatakan : Baragas (pengukir) pantas menjadi ayahnya, saudagar menjadi pamannya dan datu Pangabang-abang menjadi kakeknya. Pendapat itu disetujui dan perkawinanpun dilaksanakan. Beberapa lama kemudian, Siboru Jonjong Anian mulai mengandung (hamil). Selama hamil Guru Tatea Bulan senantiasa memenuhi permintaannya agar kelak tidak menjadi staknasi (halangan), walaupun permintaan tersebut terasa aneh, mis : meminta hati elang, nangka, pisang, ikan lumba-lumba, ayam jantan, dll. Ternyata kehamilannya diluar kebiasaan yaitu selama 12 bulan, setelah lahir ternyata kembar dua (marporhas), laki-laki dan perempuan, Guru Tatea Bulan melaksanakan pesta pemberian nama (martutu aek). Yang laki-laki dinamai Aji Donda Hatahutan Situan Parbaring dan adiknya si Tapi Nauasan Siboru Panaluan.



Mula Ni Tunggal Panaluan



Dahulu kala ada sebuah cerita yang berasal dari Pangururan, pulau Samosir tepatnya di desa Sidogor-dogor tinggallah seorang laki-laki bernama Guru Hatimbulan. Beliau adalah seorang dukun yang bergelar ‘Datu Arak ni Pane’. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan.

Telah sekian lama mereka menikah tetapi belum juga di karuniai keturunan. Suatu ketika perempuan itu hamil setelah begitu lamanya mereka menunggu, kehamilan tsb membuat heran semua penduduk kampung itu dan menganggap keadaan itu hal yang gaib(aneh), bersamaan pada saat itu juga sedang terjadi masa kemarau dan paceklik, cuaca sangat panas dan kering, saking teriknya tak tertahankan, permukaan tanah dan rawa-rawa pun menjadi kerak dan keras.

Melihat keadaan kemarau dan panas yg masih terjadi ini, membuat Raja Bius(head of Malim community) menjadi risau, lalu ia pergi menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya : “Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Nabolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus berkepanjangan, hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya”. Lalu Guru Hatimbulan menjawab :”Semua ini mungkin saja terjadi”, lalu Raja Bius mengatakan :”Semua orang kampung heran mengapa istrimu begitu lama baru hamil, mereka berkata bahwa kehamilannya itu sangat ganjil” , karena percakapan itu maka timbullah pertengkaran diantara mereka, tetapi tidak sampai ada perkelahian.

Di lain waktu tiba saatnya istri Guru Hatimbulan melahirkan, perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki dan perempuan, seketika itu juga maka hujan pun turun dgn lebatnya, maka semua tanam-tanaman dan pepohonan nampak segar kembali dan keadaan menjadi hijau lagi. Untuk merayakan itu semua, lalu Guru Hatimbulan memotong seekor lembu serta untuk mendamaikan kekuasaan jahat.

Ia juga mengundang semua penatua-penatua dan kepala-kepala kampung dalam perjamuan itu, dimana nama anak-anak itu akan di umumkan putranya diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya itu di beri nama Si Boru Tapi Nauasan.

Setelah usai pesta tsb, ada beberapa tamu yg telah menasehatkan Guru Hatimbulan supaya anak-anak itu jangan kiranya di asuh bersama-sama, yang satu kiranya di bawa ke barat dan yang satu lagi di bawa ke timur, sebab anak itu lahir kembar, dan juga berlainan jenis kelamin, hal ini sangat tidak menguntungkan menurut kata orangtua dulu.

Guru hatimbulan tidak memandang serta memperhatikan nasehat dari para penatua dan kepala kampung tsb. Setelah sekian lama terbuktilah apa yg dinasehatkan oleh para penatua itu dan benar adanya. Dilain waktu, Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit dan membuat sebuah gubuk disana, dan membawa anak-anaknya kesana.

Gubuk itu dijaga dgn seekor anjing dan setiap hari Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk anaknya tsb. Setelah anak-anaknya bertumbuh menjadi besar, pergilah putrinya jalan-jalan ke hutan lalu dilihatnya sebuah pohon yaitu pohon piu-piu tanggulon(hau tadatada), pohon yang batangnya penuh dgn duri, dan mempunyai buah yg masak & manis.

Melihat buah pohon itu,maka timbullah hasratnya untuk memakannya, tetapi sebelum dia naik ke pohon itu, dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya. Pada saat itu juga, dia tertelan dan menjadi satu dgn pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat(tersisa) . Di tempat lain abangnya Si Aji Donda Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, kenapa sampai sore kok belum pulang juga adiknya, lalu dia pergi ke dalam hutan untuk menyelidikinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Saat dia sudah merasa letih, tiba-tiba dia mendengar jawaban dari adiknya dari pohon yg berdekatan dgn dia, dan adiknya menceritakan apa yg terjadi,sehingga dia tertelan oleh pohon tersebut.

Si Aji Donda memanjat pohon itu, tetapi dia pun ikut ditelan dan menjadi satu dgn pohon itu. Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di dalam gelapnya hutan. Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat pd pohon tsb, lalu anjing itupun mengalami hal yg sama, tertelan oleh pohon itu hanya kepalanya saja yg terlihat.

Seperti biasa si Guru hatimbulan datang ke gubuk anaknya untuk membawakan mereka makanan, tapi dia tidak menemui mereka, lalu dia mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia menemui pohon tsb dan dimana dia hanya melihat kepala dua orang anak-anaknya dan anjing penjaga. Melihat hal itu dia menjadi sedih.

Dari info dan petunjuk yang dia cari maka bertemulah dia dengan seorang datu yg bernama Datu Parmanuk Koling, dia menceritakan kejadian itu dan mengajak datu itu ke pohon tsb untuk menolong anaknya, diiringi oleh banyak orang yg ingin melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok dan pemusik pun sudah dipanggil lalu si Datu memulai ritualnya, si datu berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yg menawan anak si Guru hatimbulan, setelah upacara selesai maka naiklah si Datu Parmanuk koling ke pohon itu, tetapi hal yg sama juga terjadi, dia tertelan oleh pohon itu.

Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dgn hati kecewa, tetapi mereka tidak putus asa , mereka tetap berusaha mencari jalan keluarnya dgn mencari datu lain. Kemudian Guru hatimbulan mendengar kabar ada datu yg hebat, namanya Marangin Bosi atau Datu Mallantang Malitting. Orang itu pergi ke pohon tersebut, tetapi mengalami nasib yg sama.

Kemudian ada juga Datu Boru SiBaso Bolon, dia juga menjadi tawanan si pohon itu. Hal yang sama juga terjadi kepada Datu Horbo Marpaung, Si Aji Bahar(si Jolma so Begu) yang mana setengah manusia dan setengah iblis. Dan seekor ular pun di telan pohon itu. Guru hatimbulan sudah kehabisan akal,dan juga telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk keperluan pemusik(gondang) , pele-pelean, dan semua yg diminta para datu itu utk roh yg ada di pohon tsb.

Beberapa hari setelah itu, seorang datu, bernama Si Parpansa Ginjang memberitahukan Guru Hatimbulan bahwa dia dapat membebaskan kedua anaknya dari tawanan pohon itu. Guru Hatimbulan mempercayai omongan si datu itu,dan menyediakan semua apa yang diminta oleh si datu. Si datu berkata bahwa kita harus memberikan persembahan kepada semua roh, roh tanah (spirit of land), roh air(water), roh kayu(wood) dan lainnya baru kemudian bisa membebaskan kedua anak tsb.

Guru Hatimbulan mempersiapkan semua yg diperlukan oleh si datu utk upacara tsb sesuai dgn arahan si datu. Kemudian mereka pergi menemui pohon itu disertai oleh orang kampung sekitarnya. Setelah si datu selesai memberikan mantra kepada senjata wasiatnya, lalu dia menebang pohon itu tetapi semua kepala orang yg ada di pohon tsb jadi menghilang, juga anjing dan ular yg tertelan pohon tsb. Semua orang yg menyaksikan seperti terperanjat, lalu si datu berkata kepada Guru Hatimbulan: ‘Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah gambaran dari orang-orang yg ditelan oleh pohon ini”. Guru hatimbulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dgn bentuk 5 orang lelaki, 2 orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular.

Setelah selesai mengukir tongkat tsb menjadi 9 wajah, maka semua orang kembali ke kampung guru Hatimbulan, ketika mereka tiba di kampung ditandai dgn bunyi gong, dan juga mengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yg di ukir dalam tongkat tsb. Setelah Guru Hatimbulan selesai manortor maka tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Setelah itu baru datu Parpansa Ginjang manortor(menari), melalui tortor ini dia kesurupan(siar- siaron) dirasuki roh-roh dari orang2 yg pernah ditelan pohon itu dan mulai berbicara satu-persatu, mereka adalah roh dari:

1. Si Aji Donda Hatahutan.

2. Siboru Tapi Nauasan.

3. Datu Pulo Punjung nauli, atau si Melbus-elbus.

4. Guru Manggantar porang.

5. Si Sanggar Maolaol.

6. Si Upar mangalele.

7. Barita Songkar Pangururan.

Dan mereka berkata, “Wahai bapak pemahat, kau telah membuat ukiran dari wajah kami semua dan kami punya mata, tetapi tidak bisa melihat, kami punya mulut tetapi tidak bisa bicara, kami punya telinga tapi tidak mendengar, kami punya tangan tapi tidak bisa menggenggam, kami mengutuk kamu, wahai pemahat!. Si datu menjawab, “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah pisau ini tanpa pisau ini aku tidak dapat mengukir wajah kalian”. Tetapi si pisau berbalik membalas, “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah si tukang besi, kalau saja dia tidak menempa aku menjadi pisau, aku tidak akan pernah menjadi pisau”. Si tukang besi pun tidak ingin disalahkan lalu berkata, “Jangan kutuk aku tapi kutuklah Angin, tanpa angin aku tidak dapat menempa besi”. Angin pun menjawab,”Jangan kutuk kami tapi kutuklah si Guru hatimbulan”. ketika semua tertuju pada Guru hatimbulan, maka roh itu berkata melalui si datu, “Aku mengutukmu, Ayah dan juga kamu Ibu, yaitu yang melahirkan aku”.

Ketika Guru Hatimbulan mendengar itu, dia menjawab balik, “Jangan kutuk aku tetapi kutuklah dirimu sendiri. Kau yang jatuh ke dalam lubang dan terbunuh oleh pisau dan kamu tidak mempunyai keturunan”.

Lalu Roh itu berkata: “Baiklah, biarlah begini adanya, ayah, dan gunakanlah aku untuk: menahan hujan, memanggil hujan pada waktu musim kering, senjata di waktu perang, mengobati penyakit, menangkap pencuri, dll. Setelah upacara itu, maka pulanglah mereka masing-masing. Adapun tinggi tongkat Tunggal Panaluan sekitar 170 cm dan biasanya dimiliki oleh Datu bolon(dukun besar).

No comments:

Post a Comment